Rabu, 30 Juli 2014

Ayatollah Khomeini, Sang Diktator Bengis Zaman Modern

Kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap suci di mata pengikutnya–yang sufaha—tidak mudah diketahui oleh orang lain. Namun karena kejahatan adalah ‘bangkai busuk’ maka serapi apa pun dalam menyembunyikan bangkai kelak akan tercium juga. Selalu saja ada manusia-manusia yang terlahir dengan tingkat keingin-tahuan akan segala hal (couriously) yang tinggi, di antara mereka ada yang berani menulis lalu mengekspos jejak para pemimpin yang diktator, zalim, bengis, ambisius, tiran, dan sejenisnya.

Namun ada pula pemimpin yang secara umum hingga kini tetap dianggap suci-bersih dari segala noda dan tingkah laku durjana, hingga menjadikan dirinya panutan hampir sepanjang masa. Menariknya, pemimpin tersebut, lama kelamaan, boroknya tersingkat sedikit-demi sedikit hingga pada tahap tertentu kebejatannya tersaji dengan sempurna.

Buku karya Emdievi Y.G. Alejandro, dengan judul “41 Diktator Zaman Modern; Mengejar Ambisi, Menuai Tragedi, Cetakan ke-I; Visimedia: Jakarta, 2007” adalah menarik dan menakjubkan untuk ditelaah isinya. Betapa tidak, salah satu diktator terkejam di era modern ini justru berasal dari ‘manusia suci’ bagi aliran (agama?) Syiah. Diktator kejam nan bengis itu adalah Ayatullah Khomeini dengan julukan oleh pengikut sesatnya “Ruhullah”, ia disejajarkan dengan Adolf Hitler (1889-1945) sang Fuhrer Jerman atau Alfredo Stroessner (1912-2006) sang diktator Paraguai, hingga Idi Amin (1924-2003) sang Penjagal dari Uganda, serta Pol Pot (1928-1998) penguasa Kamboja yang kebengisannya susah diutarakan dengan kata-kata.  

Dengan membaca judulnya saja, sudah barang tentu pembaca akan terbayang isinya. Secara gamblang, buku ini mengupas sepak terjang kebengisan Khomeini pada halaman 24-29. Pembahasannya dimulai dengan riwayat singkat dan diakhiri dengan meninggalnya sang Imam Syiah pada bulan Juni 1989. Tentu saja tulisan ini tidak begitu mendalam karena 40 tokoh kejam lainnya akan pembaca nikmati dalam buku setebal 212 halaman ini, namun dengan bahasa lunak dan materi yang padat, sudah cukup bagi pembaca untuk menarik benang merah di setiap ulasan. Tentang Khomeini, dapat Anda baca dalam catatan singkat saya berikut ini, tentunya berpedoman pada buku karya Alejandro. 

Ayatollah yang Bengis  

Ayatollah Khomeini, lahir 17 Mei 1900 di Khomeyn Iran.  Ia kemudian lebih masyhur dengan sebutan “Khomeini” sempena mengambil nama kampung kelahirannya di Khomeyn. Dengan ilmu yang dimilikinya, ia kelak diberi gelar sebagai “Ayatollah” yang menandakan sebagai seorang yang berilmu dan pemimpin keagamaan dalam agamanya. Pada tahun 1962-1963, Khomeini kerap melakukan perlawanan terhadap pemerintah Shah Iran yang menyebabkan terjadinya kekacauan anti-pemerintah dan akhirnya ia dipenjara selama setahun, kemudian diasingkan ke Turki. Tapi Khomeini akhirnya kembali ke kota suci para penganut Syiah, yakni Najaf, Irak. Di sana Khomeini sangat dihargai sebagai orang suci. Kaset-kasetnya yang berisi ceramah-ceramah diselundupkan ke rumah-rumah di Iran secara besar-besaran. Hal ini membuatnya menjadi pemimpin yang berpengaruh. Shah Iran akhirnya bertindak untuk mengasingkan Khomeini untuk kedua kalinya ke Paris.

Pada tahun 1978, demonstrasi meletus secara missal di jalan-jalan oleh segenap rakyat Iran yang bertujuan menggulingkan razim berkuasa saat itu, Shah Iran. Dan tepat pada bulan Januari, berkat kerjasama yang padu antara komponen masyarakat yang selama ini terzalimi, baik Ahlussunnah maupun Syiah,  rezim Shah Iran pun tumbang, dan ia akhirnya lari Ke Mesir. Perlu dicatat, bahwa tumbangnya Shah Iran, Reza Pahlevi bukan karena peran penting Syiah sebagai ideologi dan aliran, melainkan kolaborasi seluruh komponen masyarakat Iran yang selama ini terzalimi untuk bangkit dalam memerangi Shah Iran yang tiran. Sebagai segenap komponen masyarakat, di sana terdapat aliran sosialis, sekuler, Ahlussunnah, hingga Syiah, persis dengan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia. Ketika seluruh komponen masyarakat bersatu padu untuk menggulingkan Presiden Republik Indonesia, Soeharto sebagai pencetus dan penguasa Orde Baru.

Kembali ke Iran. Saat Reza Pahlevi sebagai Shah Iran terguling dan lari terbirit-birit ke Mesir. Ayatollah Khomeini saat itu, dengan tenangnya, sedang menikmati hembusan angin sepoi-sepoi di Neuf-le-Chteu, sebuah wilayah pinggiran di kota Paris, Prancis, dan itulah momen yang selama ini ditunggu-tunggu Khomeini. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dengan mempersiapkan segalanya, dua minggu kemudian, Khomeini kembali ke Iran dengan penuh kemenangan dan diakui oleh para pengikutnya sebagai seorang pemimpin tanpa ada pemilihan dan pemulihan. Selanjutnya bisa ditebak, ia pun mengukuhkan dirinya sebagai seorang pemimpin Negara dan agama sekaligus.

Dengan semangat revolusioner dan dorongan balas dendam yang kesumat. Khomeini lalu membentuk kelompok dari para rakyat sipil yang dipersenjatai lalu diperalat. Orang-orang sipil yang lengkap dengan senjata, punya semangat revolusi yang tinggi, dan tidak berilmu alias jahil selalu bersedia bergerak seperti remote control yang dipencet oleh Khomeini. Tentara gadungan itu diperintah oleh Ruhullah untuk membabat habis para sisa-sisa pendukung Reza Pahlevi dan, bahkan dikemudian hari, tentara Khomeini itu melakukan genosida (pembantaian missal) terhadap siapa pun yang tidak setuju dengan segala arahannya, tidak hanya itu, mereka yang  beda paham dalam agama pun direduksi as much as possible, termasuk para pengikut Ahlussunnah wal Jamaah, yang di era rezim Shah Iran masih dapat hidup nyaman dan berkembang, namun setelah Khomeini berkuasa, satu persatu mereka dihabisi, once and for all. Pilihan mereka: ikut Syiah dengan selamat atau tetap sebagai Ahlussunnah namun dikebiri. 

Selama lebih dari satu dekade, Khomeini dengan leluasa memperkuat aturan-aturannya. Semua kebijaksanaannya yang kejamnya melebihi kekejaman yang dilakukan Shah Iran, seperti membunuh ratusan pemberontak dan melakukan genosida terhadap aliran agama non Syiah (Sunni). Para menteri yang berkuasa juga diambil dari para ulama su’ Syiah, sementara itu, doktrin-doktrin pribadinya harus diajarkan di semua media dan sekolah sembari melakukan restorasi pada tubuh militer dan keamanan dengan menarik orang-orang yang lebih setia terhadap sistem yang dibuatnya.

Provokasinya pada Irak di tahun 1980 telah memicu terjadinya Perang Iran-Irak yang menelan korban jutaan jiwa manusia tak berdosa, padahal ini hanyalah sebuah ambisi pribadi yang tidak jelas. Dia menolak segala upaya damai yang ada, perang akhirnya hanya bisa dihentikan setelah Amerika ikut campur dengan menenggelamkan kapal-kapal perang Iran di Teluk Persia. Khomeini menganggap segala upaya gencatan senjata sebagai ‘lebih mematikan daripada minum racun’ padahal ia sendiri mengaku seorang muslim dan Irak adalah Negara Islam, sebuah kekonyolan yang susah dimengerti.

Pada masanya, dengan keadaan ekonomi yang menurun derastis dan hilangnya generasi muda Iran yang terkubur di medan peran ‘konyol’, rakyat Iran mulai bertanya-tanya, apakah Tuhan  tidak memberi berkah kepada revolusi mereka, karena yang terjadi justru Khomeini membawa bala’un azhim (musibah yang besar). 
 
Melihat keadaan itu, untuk menyatukan para pengikutnya, ia lantas mengeluarkan fatwa yang memerintahkan penulis buku “The Satanic Verses”,  Salman Rushdie, agar dihukum mati karena telah melecehkan Nabi Muhammad dan umat Islam. Triknya begitu ampuh menyihir para pengikut dan pendukungnya, bahkan  dengan lihainya ia menegaskan jika posisinya sebagai mufti mewakili  umat Islam seluruhnya, sejujurnya ini hanyalah akal-akalan Khomeini, buktinya, Salman Rushdie aman-aman saja. Dan tidak sedikit yang terkecoh, lantas mengidolakan sang diktator bengis zaman modern itu. Sejatinya, Ayatollah Khomeini, tak lebih dari seorang pemimpin ambisius yang melahirkan tragedi akidah dan kemanusiaan. Wallohu A’lam! (Ilham Kadir/lppimakassar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar