Kalau kita melihat tindak tanduk Rafidhah (baca: Syi’ah), mereka tidaklah
lepas dari mencela sahabat. Ulama-ulama mereka tidak segan-segan mengatakan
bahwa ‘Aisyah – istri tercinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam - itu kafir
dan pantas menempati neraka. Banyak literatur Syi’ah yang menyebutkan ajaran
demikian, bukan hanya satu atau dua pernyataan, bahkan sudah menjadi ajaran
pokok mereka. Tulisan kali ini akan menunjukkan bagaimana pujian Allah pada mereka,
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Juga akan dijelaskan
pula mengenai kafirnya orang yang mencela sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Merenungkan Sifat Mulia Para Sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
Sifat mulia para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termaktub
dalam ayat berikut setelah Allah memuji Rasul-Nya yang mulia. Allah Ta’ala
berfirman,
“Muhammad itu adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka
ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka
tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar” (QS. Al Fath: 29).
Mula-mula ayat ini berisi pujian Allah Ta’ala kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak disangsikan lagi adalah benar. Lalu
beliau dipuji sebagai utusan Allah, di mana pujian ini mencakup semua sifat
yang mulia. Kemudian setelah itu, barulah datang pujian kepada sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa saja pujian bagi para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Pertama: Mereka keras terhadap orang kafir namun begitu penyayang terhadap sesama
mereka yang beriman sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas,
“Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”
Pujian seperti itu terdapat pula dalam ayat lainnya, “Maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Maidah: 54).
Inilah sifat yang semestinya dimiliki oleh orang beriman. Mereka keras dan
berlepas diri dari orang kafir dan mereka berbuat baik terhadap orang-orang
beriman. Mereka bermuka masam di depan orang kafir dan bermuka ceria di hadapan
saudara mereka yang beriman. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ
الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar
kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah,
bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa” (QS. At Taubah: 123).
Dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ
بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang bagaikan satu tubuh,
apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan
panas dan demam” (HR. Muslim no. 2586).
Dari Abu Musa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan yang
bagian-bagiannya saling menguatkan satu dan lainnya” (HR. Bukhari no. 6026 dan
Muslim no. 2585).
Kedua: Para sahabat nabi adalah orang yang gemar beramal sholeh, juga
memperbanyak shalat dan shalat adalah sebaik-baik amalan
Ketiga: Mereka dikenal ikhlas dalam beramal dan selalu mengharapkan pahala di
sisi Allah, yaitu balasan surga.
Kedua sifat ini disebutkan dalam ayat di atas,
تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
“Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”
Keempat: Mereka terkenal khusyu’ dan tawadhu’. Itulah yang disebutkan dalam ayat,
سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah tanda yang baik. Mujahid
dan ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah khusyu’ dan
tawadhu’.
Ulama pakar tafsir lainnya, yaitu As Sudi berkata bahwa yang dimaksud
adalah shalat telah membaguskan wajah mereka.
Sebagian salaf berkata,
من كثرت صلاته بالليل حسن وجهه بالنهار
“Siapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka akan berserilah wajahnya
di siang hari.”
Sebagian mereka pula berkata,
إن للحسنة نورا في القلب، وضياء في الوجه، وسعة في الرزق، ومحبة في قلوب الناس
.
“Setiap kebaikan akan memancarkan cahaya di hati dan menampakkan sinar di
wajah, begitu pula akan melampangkan rizki dan semakin membuat hati manusia
tertarik padanya.”
Karena baiknya hati, hal itu akan dibuktikan dalam amalan lahiriyah.
Sebagaimana kata ‘Umar bin Al
Khottob,
من أصلح سريرته أصلح الله علانيته.
“Siapa yang baik hatinya, maka Allah pun akan memperbaiki lahiriyahnya.”
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, niat mereka dan amal baik mereka adalah
murni hanya untuk Allah. Sehingga siapa saja yang memandang mereka, maka akan
terheran dengan tanda kebaikan dan jalan hidup mereka. Demikian kata Ibnu
Katsir rahimahullah dalam tafsirnya.
Kelima: Para sahabat dipuji oleh umat sebelum Islam dan mereka adalah sebaik-baik
umat.
Imam Malik rahimahullah berkata bahwa telah sampai pada beliau, jika kaum
Nashoro melihat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menaklukkan Syam, mereka berkata, “Demi Allah, mereka sungguh lebih baik dari
Hawariyyin (pengikut setia Nabi ‘Isa ‘alaihis salam), sebagaimana yang sampai
pada kami.” Kaum Nashrani telah membenarkan hal ini. Ini menunjukkan bahwa umat
Islam adalah umat yang dalam anggapan umat-umat sebelum Islam sebagaimana
termaktub dalam kitab-kitab mereka. Dan umat Islam yang paling mulia dan utama
adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu
dalam ayat yang kita bahas di atas disebutkan,
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka
dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya.”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Demikianlah sahabat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menguatkan, mendukung dan menolong
Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga mereka selalu bersamanya
sebagaimana tunas yang selalu menyertai tanaman”. Tunas itulah ibarat para
sahabat dan tanaman itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panutan mereka.
Kafirnya Orang yang Mencela Sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
Setelah disebutkan sifat-sifat mulai para sahabat, kemudian Allah menyebutkan
sifat mereka yang selalu menolong Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana halnya tunas pada tanaman, lalu disebutkan,
يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
“Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir”.
Sebagaimana dalam salah satu riwayat dari Imam Malik rahimahullah, beliau
mengkafirkan Rafidhah (Syi’ah) di mana mereka menaruh kebencian pada para
sahabat. Imam Malik berkata,
لأنهم يغيظونهم، ومن غاظ الصحابة فهو كافر لهذه الآية
“Karena para sahabat membuat hari
mereka jengkel. Dan siapa yang jengkel (murka) pada para sahabat, maka ia kafir berdasarkan
ayat ini.”
Sekelompok ulama sependapat dengan Imam Malik dalam hall ini. Juga banyak
hadits yang menunjukkan keutamaan para sahabat dan larangan mencela mereka
sebagai pendukung. Cukup dengan pujian dan ridho Allah atas mereka sebagaimana
terbukti dalam ayat ini.
Bukti dari Literatur Syi’ah Mengenai Celaan pada Para
Sahabat
[1] Salah satu buku induk ajaran Syi’ah yaitu karangan ulama besar mereka, Al
Kulaini menyebutkan riwayat dari Ja’far ‘alaihis salam, “Manusia (para sahabat)
telah murtad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga
orang.” Aku berkata, “Siapa saja tiga orang tersebut?” Disebutkan, “Al Miqdad
bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi”. (Furu’ Al Kaafi, Al
Kulaini, hal. 115)
***
Lihatlah bagaimana tujuan keji Syi’ah yang bukan hanya mencela, namun
menganggap murtad para sahabat yang mulia kecuali tiga sahabat di atas.
[2] Al Majlisi menyebutkan dalam kitabnya bahwa bekas budak ‘Ali bin Husain. Di
mana ia pernah bersama ‘Ali bin Husain. Lalu bekas budaknya ini berkata pada
‘Ali bin Husain, “Engkau punya kewajiban untuk memberitahukanku mengenai dua orang
pria yaitu Abu Bakr dan ‘Umar.” ‘Ali bin Husain berkata, “Mereka berdua itu
kafir. Dan siapa saja yang mencintai keduanya, maka ia juga ikut kafir.”
(Baharul Anwar, Al Majlisi, 29: 137)
***
Perlu diketahui bahwa sebenarnya ‘Ali bin Husain dan ahlul bait tidaklah
seperti yang diceritakan di atas. Mereka sebenarnya berlepas diri dari
kebiadaban dan tuduhan keji orang-orang Syi’ah. Dan ini jadi bukti bagaimana
bencinya orang Syi’ah pada dua sahabat yang mulia yaitu Abu Bakr dan ‘Umar.
Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memuji Abu Bakr dengan
julukan shiddiq (orang yang paling membenarkan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam) dan menyebut ‘Umar dengan syuhada’.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Gunung Uhud pun
berguncang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِىٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ
“Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua
orang Syuhada’ (‘Umar dan ‘Utsman)” (HR. Bukhari no. 3675).
[3] Ulama pakar tafsir di kalangan Syi’ah yaitu Al Qummi berkata mengenai
firman Allah Ta’ala,
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS.
An Nahl: 90). Namun lihatlah bagaimana tafsiran Al Qummi mengenai ayat ini. Ia
berkata, “Fahsya’ adalah Abu Bakr, munkar adalah ‘Umar (bin Khottob), dan
baghyu adalah ‘Utsman (bin ‘Affan).” (Tafsir Al Qummi, 1: 390)
***
Jika ulama Syi’ah saja mencela seperti ini, bagaimana lagi dengan
pengikutnya?
[4] Yusuf Al Jaroni dalam kitabnya menyebutkan bahwa ‘Aisyah telah murtad
setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana murtadnya
sahabat Al Jamm Al Ghofir (Asy Syihab Ats Tsaqib fii Bayani Ma’na An Nashib,
Yusuf Al Jaroni, hal. 236).
[5] Dalam buku Syi’ah, mereka menuduh ‘Aisyah telah berzina. Mengenai firman
Allah Ta’ala yang sebenarnya mensucikan ‘Aisyah dari tuduhan zina yaitu pada
surat An Nuur,
أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ
“Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
(yang menuduh itu)” (QS. An Nuur: 26). Kata mereka, ayat ini yang dimaksud
adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pada istrinya
‘Aisyah. (Ash Shiroth Al Mustaqim, Zainuddin An Nabathi Al Bayadhi, 3: 165)
***
Bagaimana mungkin ‘Aisyah dituduh berzina, sedangkan dalam surat An Nuur
sebelumnya disebutkan,
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ
لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula)” (QS. An Nuur: 26).
Bagaimana pula ‘Aisyah itu murtad dan berbuat zina, sedangkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menaruh hati pada ‘Aisyah. Lihatlah
bagaimana ungkapan cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada istrinya
tercinta.
قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ
كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ
‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
bagimu seperti sayangnya Abu Zar’ pada Ummu Zar’. (HR. Bukhari no. 5189 dan
Muslim no. 2448).
Dalam riwayat lain, A’isyah berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku daripada Abu Zar’”
(HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)
Pujian Tinggi pada Para Sahabat
Di akhir ayat, Allah menyebutkan pujian tinggi pada para sahabat,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ
مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.
Siapa saja yang mengikuti para sahabat dalam sifat mulia mereka, ia akan
mendapatkan keutamaan demikian.
Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk
mengikuti jejak mulia para sahabat dan moga kami menjadi orang-orang yang
mencintai mereka.
Kami tutup tulisan ini dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ
ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara
kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi
satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya” (HR. Bukhari no. 3673 dan
Muslim no. 2540).
Walloohu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah
Qurthubah, cetakan pertama, tahun 1421 H, 13: 132-135. Man Hum Asy Syi’ah Itsna
‘Asyariyyah, ‘Abdullah bin Muhammad As Salafi, dd-sunnah.net, cetakan pertama,
1428 H. Min ‘Aqoidi Asy Syi’ah, ‘Abdullah bin Muhammad As Salafi (dengan
muqoddimah: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz), dd-sunnah.net, cetakan
ketiga, 1428 H.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 27 Rabi’uts Tsani 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar