Semua pokok-pokok
agama (ushuluddin) dibangun di atas ayat-ayat Al Quran yang muhkam, yaitu ayat
yang jelas, tegas dan mudah dipahami. Ayat Muhkam dapat langsung dipahami
dengan jelas maknanya, tidak butuh interpretasi (tafsir, hadis, riwayat atau
penjelasan ulama) untuk memahaminya. Sebaliknya, kelompok ayat-ayat yang mutasyaabihat,
untuk memahaminya dengan benar harus disertai dengan interpretasi tadi. Alloh
berfirman mengenai ayat muhkam dan ayat mutasyabihat.
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Qur’an) kepada kamu. di antara
(isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat
Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Alloh. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:
"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan
orang-orang yang berakal. (QS. Ali-Imran: 7)
Menurut ayat di atas,
yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabihat untuk menimbulkan fitnah, hatinya akan
condong kepada kesesatan.
Di antara contoh
keyakinan yang dibangun di atas ayat-ayat yang muhkam adalah dalam hal
menetapkan kerasulan Nabi Muhammad. Muhammadun
rosulullooh walladziina ma’ahu….. Muhammad itu adalah utusan Alloh dan
orang-orang yang bersamanya…. (QS. Al-Fath: 29). Siapa saja yang membaca
ayat ini dengan mudah ia pahami bahwa Muhammad adalah utusan Alloh.
Untuk menetapkan
kewajiban shalat dan zakat misalnya, Wa
aqiimushsholaata wa aatuz zakaah. Dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat (QS.
Al-Baqarah: 43)
Untuk menetapkan
kewajiban puasa misalnya pada ayat 183 surat Al-Baqarah, Kutiba ‘alaikumushshiyaam. Diwajibkan atas
kamu berpuasa.
Dan seterusnya, semua
pokok-pokok dalam agama Islam sangat mudah kita pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an
tanpa harus membuka tafsir, hadis atau menelusuri penjelasan para ulama.
Sementara itu, Sunnah atau Hadis Nabi Shollalloohu ‘alaihi Wa sallam. Merupakan
penjelasan terhadap Al Qur’an. Ayat-ayat Muhkam dalam Al Quran maknanya jelas,
hanya satu, tidak menimbulkan multi tafsir/ pemahaman.
Al Qur’an terjamin
dan terjaga keasliannya, sementara as sunnah atau hadis Nabi Shollalloohu
‘alaihi Wa sallam dapat dipalsukan. Sejarah pun membuktikan betapa para ulama
bekerja keras dalam menyaring hadis dan mengkategorikannya dalam hadis shahih,
palsu ataupun lemah.
Al Qur’an inilah yang
menjadi rujukan utama dalam memahami agama Islam. Seluruh pokok-pokok agama
telah termuat dengan jelas dalam Al Quran. Sebuah pemisalan untuk memahaminya
ialah seperti KTP dan Pusat data kementerian dalam negeri. Seluruh data KTP ada
dalam pusat informasi tersebut. Jika seseorang memperlihatkan KTP, maka
keabsahannya dapat kita ketahui dengan merujuk kepada pusat data tadi. Jika
data KTP itu tidak ada dalam data base, maka dapat disimpulkan, KTP orang
tersebut adalah palsu. Demikian halnya, jika terdapat ajaran yang dinilai
berasal dari Islam namun tidak sesuai dengan Al Quran (sebagai data base) maka
ajaran tersebut adalah ‘Palsu’
Imamah
dalam (Ayat Mutasyaabihaat) Al Qur’an
Imamah merupakan pokok
terpenting dari akidah Syiah yang diyakini oleh penganutnya. Mereka berdalil
dengan ayat Al-Qur’an untuk menetapkan Imamah ini, yaitu firman Allah
yang berbunyi,
"Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah
kalian bersama orang-orang yang jujur/ benar." (QS. At-Taubah: 119), menurut
tafsiran ulama Syiah yang dimaksud dengan Ash-Shadiqin di sini adalah Ali dan
imam-imam sesudahnya.
Masyarakat luas yang membaca ayat ini tidak akan faham bahwa yang
dimaksud di sini adalah kewajiban menjadikan Ali sebagai Imam. Kita pun mungkin
tidak akan menyangka seperti itu. Ayat ini perlu riwayat, hadis atau penafsiran
ulama untuk memahaminya sebagaimana kehendak orang-orang Syiah. Dan ketika
suatu ayat butuh interpretasi, penafsiran, hadis atau riwayat dalam memahami
maknanya secara benar maka ia termasuk ayat-ayat yang mutasyaabihat. Syiah
menjadikan pokok keyakinannya –Imamah- bersandar pada ayat-ayat mutasyabihat
itu.
Bagi Syiah, Al-Qur’an itu ibarat teka-teki, rumus-rumus dan
sandi-sandi. Siapa yang bisa memecahkannya maka ia selamat. Dan siapa yang
tidak bisa memecahkannya maka ia celaka, tersesat dan kekal di neraka. Padahal
fungsi utama Al-Qur’an adalah untuk memberikan hidayah kepada manusia dan Alloh
Subhaanahu Wa Ta’ala melalui Al Qur’an tidak menjadikan pokok dalam agama ini
tersamar oleh pemeluknya.
Kita akan sebutkan satu contoh/pemisalan tentang masalah ini. Sebutlah
seseorang yang tinggal kutub utara atau di hutan belantara amerika. Suatu
ketika ia menemukan Al-Qur’an disertai terjemahan bahasanya. Setelah ia baca,
Allah berkehendak memberinya hidayah. Ia pun masuk Islam. Kita akan bertanya.
Apakah dari hasil bacaannya tersebut ia bisa memahami bahwa Imam setelah
Rasulullah adalah Ali? Atau setelah membaca Al-Qur’an tersebut apakah ia akan
meyakini bahwa melaknat Aisyah itu termasuk bagian dari agama? Apakah dengan
begitu ia bisa memahami bahwa para sahabat itu murtad setelah ditinggal oleh
Nabi? Tentunya tidak. Karena tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur’an yang
menunjukkan demikian. Maka menurut Syiah, orang tersebut akan celaka, tersesat
dan kekal di neraka, karena ia tidak meyakini wajibnya Imamah, melaknat sahabat
Nabi dan sebagainya, yang merupakan akidah yang menyimpang.
Ayat Mutasyaabihat Bisa Membenarkan Semua Agama
Memakai ayat-ayat mutasyaabihat untuk membangun pondasi agama sangatlah
rapuh. Karena dengan ayat-ayat mutasyaabihat kita juga bisa membenarkan semua
agama; seperti Majusi, Nasrani maupun Yahudi.
Untuk membenarkan agama dan keyakinan Majusi kita bisa pakai beberapa
ayat dalam Al-Qur’an. Misalnya ayat 24 dalam surat Al-Baqoroh, فاتقوالنار, Takutlah kalian kepada Api. Dalam ayat lain disebutkan, واتقوا الله, Dan takutlah kalian kepada Alloh. Dengan kedua ayat tadi dapat
diambil kesimpulan keliru bahwa Api adalah Alloh itu sendiri. Atau pada ayat
lain disebutkan tentang keagungan api.
"Dan tidaklah kami jadikan para penjaga api itu melainkan para malaikat" (QS. Al-Mudatstsir:
31).
Ayat ini menunjukkan keagungan api karena dijaga oleh para malaikat. Sehingga dengan bermodalkan ayat yang
sepotong-sepotong ini kita bisa saja membenarkan keyakinan Majusi yang
menyembah api. Padahal kita tahu bahwa api yang dimaksud pada ayat-ayat di atas
adalah neraka.
Untuk membenarkan keyakinan Yahudi kita bisa pakai ayat 47 dari surat
Al-Baqoroh, Wahai Bani Israil ingatlah nikmat-nikmat Ku yang telah kuberikan
pada kalian dan Aku lebihkan kalian di atas seluruh alam. Umat Yahudi – melalui
ayat ini - adalah umat terbaik yang ada saat ini, karena telah dilebihkan oleh
Allah atas seluruh umat.
Sekitar 20 tahun yang
lalu, gereja Mesir menuntut Al-Azhar dan dunia Islam secara umum untuk taubat
dan kembali ke agama Nasrani. Pasalnya ada ayat di dalam Al-Qur’an yang
menyebutkan kebenaran agama Nasrani, ayat itu berbunyi,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yahudi, nasrani dan sabi’in yang
beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shaleh, bagi mereka pahal
dari Tuhan mereka, tidak ada ketakutan bagi mereka dan tiada mereka bersedih. (QS. Al-Baqarah: 62).
Dalam ayat ini –kata gereja Mesir- tidak ada syarat beriman pada kenabian
Muhammad. Selain itu, gereja Mesir menuntut agar kaum Muslimin menjadikan
Gereja sebagai rujukan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,
"Jikalau kamu (Muhammad) ragu terhadap apa yang kami turunkan kepadamu
maka bertanyalah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelum kamu" (QS. Yunus: 94).
Oleh karena itu, jika
kita memakai metode Syiah dalam membangun pondasi akidah, justru semua agama
bisa kita benarkan. Walloohu musta’an.
Dari ini semua kita
bisa nyatakan bahwa tidak selamanya orang yang berdalil dengan Al-Qur’an
bermanhaj dan beragama sesuai petunjuk Al-Qur’an.
Dalil
Lain tentang Imamah
Dalil lain tentang Imamah
adalah ayat ke 55 dalam surat Al-Maidah, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Alloh).”
Syiah
menafsirkan bahwa waliy/pemimpin yang
dimaksud dalam ayat ini adalah Ali bin Abi Tholib.
Karena menurut dalam
salah satu riwayat, Ali mengeluarkan zakat berupa cincin kepada fakir miskin
dalam keadaan rukuk. Suatu ayat yang butuh kepada penafsiran dan riwayat hadis,
maka itu bukanlah ayat muhkam dan pokok agama.
Di samping riwayat di
atas palsu, hadis itu juga merupakan pelecehan terhadap Ali. Kita meyakini
bahwa Ali adalah seorang sahabat yang khusyu’ dalam shalat.
"Sungguh telah beruntung orang-orang beriman.
(yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalat". (Al-Mukminun: 1-2).
Kekeliruan
pertama, mengeluarkan zakat
pada saat rukuk akan berimplikasi pada shalat yang kurang khusyu’, maka secara
tidak langsung kaum Syiah menganggap Ali kurang khusyu’ dalam Shalatnya.
Kekeliruan
kedua, munculnya anggapan bahwa
Ali Rodhialloohu ‘anhu. adalah orang kaya hingga memakai cincin emas.
Sebenarnya, cincin emas itupun telah ada larangannya dari Nabi Shollalloohu
‘alaihi Wa sallam dipakai oleh kaum pria. Bahkan sebaliknya, Ali tidak berhak
mengeluarkan zakat. Sebagai contoh mahar Ali kepada Fathimah dibantu oleh
Utsman bin Affan karena kebersahajaan beliau dalam kehidupannya.
Satu pertanyaan
tegas, manakah dalam ayat itu yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Tholib harus
Imam/Khalifah setelah Nabi Shollalloohu ‘alaihi Wa sallam dan beliau maksum?
Jika seandainya, kita menerima Imam Ali berzakat ketika rukuk, maka Imam-imam
setelah Ali tidak sah sebagai Imam karena tidak ada riwayat bahwa kesebelas
Imam yang lain menunaikan zakat pada waktu rukuk, sebagaimana Ali Rodhialloohu
‘Anhu.
Kekeliruan
ketiga, Secara tidak langsung
akan muncul anggapan Ali shalat di shaf akhir, dan ini adalah pendapat pribadi
saya, karena jika Ali shalat di shaf pertama tentulah seorang fakir itu
memecah shaf, mencari Ali dan kemudian menerima zakat cincin tersebut.
Imamah atau Haidh
Menurut
Syiah, Imamah adalah manshib ilahiy (jabatan yang ditunjuk
langsung oleh Alloh).
Padahal dalam Al-Qur’an tidak satupun ayat yang menyebutkan bahwa Ali dan
keturunannya adalah Imam kaum Muslimin setelah wafatnya Nabi Shollalloohu
‘alaihi Wa sallam.
Jika perkara Imamah itu penting tentunya Allah
menyebutnya dalam Al-Qur’an. Namun yang kita dapati justru Alloh menyebut dalam
Al-Qur’an banyak hal yang tidak terlalu penting ketimbang Imamah. Seperti nama-nama hewan, ada
lebah (النحل, surat An-Nahl), sapi (البقرة, surat Al-Baqoroh),
keledai (الحمير, QS. Luqman: 19),
bahkan anjing (الكلب, QS. Al-A’raf: 176). Nama-nama tumbuhan, seperti kurma (النخل,
QS. Ar-Rohmaan: 11), tiin, zaituun (التين والزيتون,
QS. At-Tiin), delima dan anggur (الرمان , والأعناب,
QS. Al-An’aam: 99).
Nama sahabat Nabi,
Zaid, disebutkan dalam perkara fiqh mu’amalah (QS. Al-Ahzab: 37). Bahkan nama
yang menjadi musuh orang beriman juga disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an,
yaitu Iblis (QS. Al-A’raf: 11). Dan justru yang lebih remeh dari hal itu adalah
perkara haidh disebutkan dalam Al-Qur’an, ويسألونك عن
المحيض قل
هو أذى, Dan mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Haidh, katakanlah ‘itu adalah penyakit’ (QS.
Al-Baqarah: 222).
Jika Imamah adalah akidah yang wajib di imani
dan terapkan, mengapa Alloh tidak menyebut يسألونك عن
الإمام قل
هو علي , Mereka bertanya
kepadamu tentang Imam (sepeninggalmu), katakanlah ‘Dialah Ali’.
Tidak adanya teks/
nash dalam Al-Qur’an tentang Imamah
Ahlul Bait menunjukkan bahwa itu bukanlah pokok agama dan olehnya agama
Syiah tidak memiliki ayat yang jelas (muhkam) untuk membangun pondasi keyakinan
mereka.
Sebagai penutup kita
ingin mengatakan kepada kaum syiah:
1. Datangkan ayat Al
Quran yang muhkam mengenai akidah Imamah.
Niscaya mereka tidak akan mampu mendatangkannya.
2.
Jika kalian memiliki Al-Qur’an lain, maka
Lakum diinukum wa liyadiin, bagimu
agamamu dan bagiku agamaku.
3.
Jika Anda berkeyakinan bahwa Al-Qur’an
telah dirubah, maka keyakinan kalian itu adalah kekufuran yang nyata.
(Sulfandy/Muh
Istiqamah/lppimakassar.com)
LPPI Makassar
Materi ini kami sarikan dari pemaparan Syeikh
Mamduh Farhan Al-Buhairi dalam Seminar Islam dan Ideologi “Menata Aqidah
Membangun Masyarakat Berperadaban” di Baruga AP. Pettarani Universitas
Hasanuddin, 17 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar