Selasa, 29 Juli 2014

Kaidah Yang Meruntuhkan Akidah Syiah



Semua pokok-pokok agama (ushuluddin) dibangun di atas ayat-ayat Al Quran yang muhkam, yaitu ayat yang jelas, tegas dan mudah dipahami. Ayat Muhkam dapat langsung dipahami dengan jelas maknanya, tidak butuh interpretasi (tafsir, hadis, riwayat atau penjelasan ulama) untuk memahaminya. Sebaliknya, kelompok ayat-ayat yang mutasyaabihat, untuk memahaminya dengan benar harus disertai dengan interpretasi tadi. Alloh berfirman mengenai ayat muhkam dan ayat mutasyabihat.

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Alloh. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. Ali-Imran: 7)

Menurut ayat di atas, yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabihat untuk menimbulkan fitnah, hatinya akan condong kepada kesesatan.

Di antara contoh keyakinan yang dibangun di atas ayat-ayat yang muhkam adalah dalam hal menetapkan kerasulan Nabi Muhammad. Muhammadun rosulullooh walladziina ma’ahu….. Muhammad itu adalah utusan Alloh dan orang-orang yang bersamanya…. (QS. Al-Fath: 29). Siapa saja yang membaca ayat ini dengan mudah ia pahami bahwa Muhammad adalah utusan Alloh.

Untuk menetapkan kewajiban shalat dan zakat misalnya, Wa aqiimushsholaata wa aatuz zakaah. Dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah: 43)

Untuk menetapkan kewajiban puasa misalnya pada ayat 183 surat Al-Baqarah, Kutiba ‘alaikumushshiyaam. Diwajibkan atas kamu berpuasa.

Dan seterusnya, semua pokok-pokok dalam agama Islam sangat mudah kita pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an tanpa harus membuka tafsir, hadis atau menelusuri penjelasan para ulama. Sementara itu, Sunnah atau Hadis Nabi Shollalloohu ‘alaihi Wa sallam. Merupakan penjelasan terhadap Al Qur’an. Ayat-ayat Muhkam dalam Al Quran maknanya jelas, hanya satu, tidak menimbulkan multi tafsir/ pemahaman.

Al Qur’an terjamin dan terjaga keasliannya, sementara as sunnah atau hadis Nabi Shollalloohu ‘alaihi Wa sallam dapat dipalsukan. Sejarah pun membuktikan betapa para ulama bekerja keras dalam menyaring hadis dan mengkategorikannya dalam hadis shahih, palsu ataupun lemah.

Al Qur’an inilah yang menjadi rujukan utama dalam memahami agama Islam. Seluruh pokok-pokok agama telah termuat dengan jelas dalam Al Quran. Sebuah pemisalan untuk memahaminya ialah seperti KTP dan Pusat data kementerian dalam negeri. Seluruh data KTP ada dalam pusat informasi tersebut. Jika seseorang memperlihatkan KTP, maka keabsahannya dapat kita ketahui dengan merujuk kepada pusat data tadi. Jika data KTP itu tidak ada dalam data base, maka dapat disimpulkan, KTP orang tersebut adalah palsu. Demikian halnya, jika terdapat ajaran yang dinilai berasal dari Islam namun tidak sesuai dengan Al Quran (sebagai data base) maka ajaran tersebut adalah ‘Palsu’

Imamah dalam (Ayat Mutasyaabihaat) Al Qur’an
Imamah merupakan pokok terpenting dari akidah Syiah yang diyakini oleh penganutnya. Mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an untuk menetapkan Imamah ini, yaitu firman Allah yang berbunyi,

"Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur/ benar." (QS. At-Taubah: 119), menurut tafsiran ulama Syiah yang dimaksud dengan Ash-Shadiqin di sini adalah Ali dan imam-imam sesudahnya.

Masyarakat luas yang membaca ayat ini tidak akan faham bahwa yang dimaksud di sini adalah kewajiban menjadikan Ali sebagai Imam. Kita pun mungkin tidak akan menyangka seperti itu. Ayat ini perlu riwayat, hadis atau penafsiran ulama untuk memahaminya sebagaimana kehendak orang-orang Syiah. Dan ketika suatu ayat butuh interpretasi, penafsiran, hadis atau riwayat dalam memahami maknanya secara benar maka ia termasuk ayat-ayat yang mutasyaabihat. Syiah menjadikan pokok keyakinannya –Imamah- bersandar pada ayat-ayat mutasyabihat itu.

Bagi Syiah, Al-Qur’an itu ibarat teka-teki, rumus-rumus dan sandi-sandi. Siapa yang bisa memecahkannya maka ia selamat. Dan siapa yang tidak bisa memecahkannya maka ia celaka, tersesat dan kekal di neraka. Padahal fungsi utama Al-Qur’an adalah untuk memberikan hidayah kepada manusia dan Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala melalui Al Qur’an tidak menjadikan pokok dalam agama ini tersamar oleh pemeluknya.

Kita akan sebutkan satu contoh/pemisalan tentang masalah ini. Sebutlah seseorang yang tinggal kutub utara atau di hutan belantara amerika. Suatu ketika ia menemukan Al-Qur’an disertai terjemahan bahasanya. Setelah ia baca, Allah berkehendak memberinya hidayah. Ia pun masuk Islam. Kita akan bertanya. Apakah dari hasil bacaannya tersebut ia bisa memahami bahwa Imam setelah Rasulullah adalah Ali? Atau setelah membaca Al-Qur’an tersebut apakah ia akan meyakini bahwa melaknat Aisyah itu termasuk bagian dari agama? Apakah dengan begitu ia bisa memahami bahwa para sahabat itu murtad setelah ditinggal oleh Nabi? Tentunya tidak. Karena tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan demikian. Maka menurut Syiah, orang tersebut akan celaka, tersesat dan kekal di neraka, karena ia tidak meyakini wajibnya Imamah, melaknat sahabat Nabi dan sebagainya, yang merupakan akidah yang menyimpang.

Ayat Mutasyaabihat Bisa Membenarkan Semua Agama
Memakai ayat-ayat mutasyaabihat untuk membangun pondasi agama sangatlah rapuh. Karena dengan ayat-ayat mutasyaabihat kita juga bisa membenarkan semua agama; seperti Majusi, Nasrani maupun Yahudi.

Untuk membenarkan agama dan keyakinan Majusi kita bisa pakai beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Misalnya ayat 24 dalam surat Al-Baqoroh, فاتقوالنار, Takutlah kalian kepada Api. Dalam ayat lain disebutkan, واتقوا الله, Dan takutlah kalian kepada Alloh. Dengan kedua ayat tadi dapat diambil kesimpulan keliru bahwa Api adalah Alloh itu sendiri. Atau pada ayat lain disebutkan tentang keagungan api.

"Dan tidaklah kami jadikan para penjaga api itu melainkan para malaikat" (QS. Al-Mudatstsir: 31). 

Ayat ini menunjukkan keagungan api karena dijaga oleh para malaikat. Sehingga dengan bermodalkan ayat yang sepotong-sepotong ini kita bisa saja membenarkan keyakinan Majusi yang menyembah api. Padahal kita tahu bahwa api yang dimaksud pada ayat-ayat di atas adalah neraka.

Untuk membenarkan keyakinan Yahudi kita bisa pakai ayat 47 dari surat Al-Baqoroh, Wahai Bani Israil ingatlah nikmat-nikmat Ku yang telah kuberikan pada kalian dan Aku lebihkan kalian di atas seluruh alam. Umat Yahudi – melalui ayat ini - adalah umat terbaik yang ada saat ini, karena telah dilebihkan oleh Allah atas seluruh umat.

Sekitar 20 tahun yang lalu, gereja Mesir menuntut Al-Azhar dan dunia Islam secara umum untuk taubat dan kembali ke agama Nasrani. Pasalnya ada ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan kebenaran agama Nasrani, ayat itu berbunyi,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, yahudi, nasrani dan sabi’in yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shaleh, bagi mereka pahal dari Tuhan mereka, tidak ada ketakutan bagi mereka dan tiada mereka bersedih. (QS. Al-Baqarah: 62). Dalam ayat ini –kata gereja Mesir- tidak ada syarat beriman pada kenabian Muhammad. Selain itu, gereja Mesir menuntut agar kaum Muslimin menjadikan Gereja sebagai rujukan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an,

"Jikalau kamu (Muhammad) ragu terhadap apa yang kami turunkan kepadamu maka bertanyalah kepada orang-orang yang membaca Al-Kitab sebelum kamu" (QS. Yunus: 94).

Oleh karena itu, jika kita memakai metode Syiah dalam membangun pondasi akidah, justru semua agama bisa kita benarkan. Walloohu musta’an.

Dari ini semua kita bisa nyatakan bahwa tidak selamanya orang yang berdalil dengan Al-Qur’an  bermanhaj dan beragama sesuai petunjuk Al-Qur’an.

Dalil Lain tentang Imamah
Dalil lain tentang Imamah adalah ayat ke 55 dalam surat Al-Maidah, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Alloh).”

Syiah menafsirkan bahwa waliy/pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini adalah Ali bin Abi Tholib. 
Karena menurut dalam salah satu riwayat, Ali mengeluarkan zakat berupa cincin kepada fakir miskin dalam keadaan rukuk. Suatu ayat yang butuh kepada penafsiran dan riwayat hadis, maka itu bukanlah ayat muhkam dan pokok agama.

Di samping riwayat di atas palsu, hadis itu juga merupakan pelecehan terhadap Ali. Kita meyakini bahwa Ali adalah seorang sahabat yang khusyu’ dalam shalat.  

"Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalat". (Al-Mukminun: 1-2). 

Kekeliruan pertama, mengeluarkan zakat pada saat rukuk akan berimplikasi pada shalat yang kurang khusyu’, maka secara tidak langsung kaum Syiah menganggap Ali kurang khusyu’ dalam Shalatnya. 

Kekeliruan kedua, munculnya anggapan bahwa Ali Rodhialloohu ‘anhu. adalah orang kaya hingga memakai cincin emas. Sebenarnya, cincin emas itupun telah ada larangannya dari Nabi Shollalloohu ‘alaihi Wa sallam dipakai oleh kaum pria. Bahkan sebaliknya, Ali tidak berhak mengeluarkan zakat. Sebagai contoh mahar Ali kepada Fathimah dibantu oleh Utsman bin Affan karena kebersahajaan beliau dalam kehidupannya.

Satu pertanyaan tegas, manakah dalam ayat itu yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Tholib harus Imam/Khalifah setelah Nabi Shollalloohu ‘alaihi Wa sallam dan beliau maksum? Jika seandainya, kita menerima Imam Ali berzakat ketika rukuk, maka Imam-imam setelah Ali tidak sah sebagai Imam karena tidak ada riwayat bahwa kesebelas Imam yang lain menunaikan zakat pada waktu rukuk, sebagaimana Ali Rodhialloohu ‘Anhu. 

Kekeliruan ketiga, Secara tidak langsung akan muncul anggapan Ali shalat di shaf akhir, dan ini adalah pendapat pribadi saya, karena jika Ali  shalat di shaf pertama tentulah seorang fakir itu memecah shaf, mencari Ali dan kemudian menerima zakat cincin tersebut.

Imamah atau Haidh
Menurut Syiah, Imamah adalah manshib ilahiy (jabatan yang ditunjuk langsung oleh Alloh). Padahal dalam Al-Qur’an tidak satupun ayat yang menyebutkan bahwa Ali dan keturunannya adalah Imam kaum Muslimin setelah wafatnya Nabi Shollalloohu ‘alaihi Wa sallam.

Jika perkara Imamah itu penting tentunya Allah menyebutnya dalam Al-Qur’an. Namun yang kita dapati justru Alloh menyebut dalam Al-Qur’an banyak hal yang tidak terlalu penting ketimbang Imamah. Seperti nama-nama hewan, ada lebah (النحل, surat An-Nahl), sapi (البقرة, surat Al-Baqoroh), keledai (الحمير, QS. Luqman: 19), bahkan anjing (الكلب, QS. Al-A’raf: 176). Nama-nama tumbuhan, seperti kurma (النخل, QS. Ar-Rohmaan: 11), tiin, zaituun (التين والزيتون, QS. At-Tiin), delima dan anggur (الرمان , والأعناب, QS. Al-An’aam: 99).

Nama sahabat Nabi, Zaid, disebutkan dalam perkara fiqh mu’amalah (QS. Al-Ahzab: 37). Bahkan nama yang menjadi musuh orang beriman juga disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, yaitu Iblis (QS. Al-A’raf: 11). Dan justru yang lebih remeh dari hal itu adalah perkara haidh disebutkan dalam Al-Qur’an, ويسألونك عن المحيض قل هو أذى, Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Haidh, katakanlah ‘itu adalah penyakit’ (QS. Al-Baqarah: 222).

Jika Imamah adalah akidah yang wajib di imani dan terapkan, mengapa Alloh tidak menyebut يسألونك عن الإمام قل هو علي , Mereka bertanya kepadamu tentang Imam (sepeninggalmu), katakanlah ‘Dialah Ali’.  

Tidak adanya teks/ nash dalam Al-Qur’an tentang Imamah Ahlul Bait menunjukkan bahwa itu bukanlah pokok agama dan olehnya agama Syiah tidak memiliki ayat yang jelas (muhkam) untuk membangun pondasi keyakinan mereka.
Sebagai penutup kita ingin mengatakan kepada kaum syiah:
1.    Datangkan ayat Al Quran yang muhkam mengenai akidah Imamah. Niscaya mereka tidak akan mampu mendatangkannya.
2.    Jika kalian memiliki Al-Qur’an lain, maka Lakum diinukum wa liyadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
3.    Jika Anda berkeyakinan bahwa Al-Qur’an telah dirubah, maka keyakinan kalian itu adalah kekufuran yang nyata.

(Sulfandy/Muh Istiqamah/lppimakassar.com)

LPPI Makassar  
 Materi ini kami sarikan dari pemaparan Syeikh Mamduh Farhan Al-Buhairi dalam Seminar Islam dan Ideologi “Menata Aqidah Membangun Masyarakat Berperadaban” di Baruga AP. Pettarani Universitas Hasanuddin, 17 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar