Makassar (voa-islam.com) Dusta super bejat dari Jalaludin Rakhmat ini berhadapan depan jutaan umat
Islam dan Ulama yang terus konsisten dalam Islam hingga kiamat. Justru Si Jalal
yang murtad sejatinya!
IJABI MENGKAFIRKAN MUSLIM
INDONESIA! SUPER DUSTANYA!
Hal ini terungkap dari buletin IJABI Sulawesi Selatan yang
bekerjasama dengan IJABI Jawa Barat membagi-bagikan buletin dakwah Al-Tanwir
pada acara asyura Syiah 1431 H di Makassar.
Makalah pertama dalam bulletin tersebut adalah tulisan ‘KH.
alias Kafir Harbi’ Jalaluddin Rakhmat yang berjudul “Bersama Al-Husein:
Hidupkan Kembali Sunnah Nabawiyah (Sebuah Pengantar Asyura)”
“Mengapa Imam Husein bertekad menemui kesyahidannya? Apa
yang melatarbelakangi beliau untuk tetap berangkat? Itu yang menjadi pertanyaan
banyak orang. Dan sekarang saya akan menjelaskan mengapa. Latar belakang ini
cukup panjang sebenarnya. Banyak hadis yang membicarakannya, tetapi di sini
akan saya bacakan beberapa saja” tulis pak Jalal mengawali tulisannya.
Di antara jawaban yang dikemukakan Jalaluddin Rakhmat
adalah karena para sahabat yang baru saja ditinggal oleh Nabinya itu merubah-rubah
agama dan kembali murtad. Kembali menjadi orang-orang jahiliyah. Dan kembali
menjadi orang kafir.
Dia beralasan dengan beberapa hadis,
“Di salam Shahih Bukhari dan juga dalam Shahih Muslim, Nabi
bercerita tentang hari kiamat. ‘Nanti pada hari kiamat -kata Rasulullah- aku
akan menunggu di telaga al-Kautsar, kemudian datanglah kepadaku serombongan
orang yang mengenalku dan aku mengenal mereka. Begitu dekat tiba-tiba mereka
ditarik lagi dan aku berteriak, ‘Ini Sahabatku. Ini sahabatku’, lalu dikatakan
kepadaku: Kamu tidak tahu bahwa mereka sudah mengubah-ubah agama
sepeninggalmu.’ Lalu Rasulullah Saw bersabda: ‘Semoga dijauhkan dari kasih
sayang Allah buat orang-orang yang mengubah-ubah agama sepeninggalku’.” Tulis Jalaluddin Rakhmat. “Masih dalam Shahih Bukhari
diriwayatkan oleh beberapa sahabat lain, di antaranya ialah Abu Hurairah. Abu
Hurairah berkata: Ketika sahabat-sahabat itu digiring dijauhkan, Rasulullah
bertanya, ‘Mau dibawa kemana ini sahabatku?’ ke neraka, jawabnya. Lalu
dikatakan kepada Rasulullah Saw: Tidak henti-hentinya mereka itu murtad meninggalkan
agama kamu setelah engkau meninggalkan mereka. Innahum lam yazaaluu murtaddiin
‘ala a’qabihim mundzu faraqtahum. Rasulullah sangat sedih, bahwa sahabatnya
akan murtad sepeninggal dia.”
Jalaluddin Rakhmat melanjutkan. Jalaluddin Rakhmat dalam
makalah Asyura-nya tersebut sengaja mengutip hadis dan membiarkan maknanya
secara zahir ditangkap oleh orang awam, yaitu murtadnya para sahabat. Dan
begitulah memang yang diinginkannya. Dan bahkan menyimpulkannya dengan berkata,
‘Rasulullah sangat sedih, bahwa sahabatnya akan murtad sepeninggal
dia.’
Tanggapan dan Jawaban:
Jalaluddin Rakhmat memang berniat menggiring para pembaca
menuju konklusi tersebut di atas tanpa menjelaskan makna hadis yang sebenarnya
dan kemudian berkilah ‘Pekerjaan saya hanya mengutip dari kitab-kitab.’
Padahal hadis seperti ini haruslah disertai dengan penjelasan para ulama.
Maka untuk menjawab dan menjelaskan hadis Haudh yang
derajat validitasnya shahih tersebut kami nukilkan penjelasan Syaikh Dr.
Utsman Al-Khumais dalam bukunya, “Membantah Argumentasi Syi’ah” hal
99-104 berikut ini, Yang dimaksud dengan hadis haudh adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, “(Kelak) datang kepadaku orang-orang yang kukenal
mereka dan mereka pun mengenalku.
Tapi, mereka lantas disingkirkan dari telaga (yakni telaga
nabi di hari kiamat). Sehingga, aku berkata, ‘Mereka itu sahabat-sahabatku.’
Lantas dijawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka buat-buat
sepeninggal dirimu’.” (Shahih Al-Bukhari, no. 474, 7049; dan shahih Muslim, no.
37) Dalam jalur-jalur periwayatn lain, hadis ini memiliki tambahan, bahwa di
akhir, Nabi bersabda, “Maka aku pun berkata, ‘Sungguh celaka mereka. Sungguh
celaka mereka’.” (Shahih Al-Bukhari, no. 7051; dan Shahih Muslim, no. 39)
Pertanyaannya, siapakah orang-orang yang disingkirkan dari
telaga itu? Syiah Itsna Asyariyah mengatakan, bahwa mereka adalah para sahabat
Nabi. Jikalau memang demikian, maka apa gunanya kita memuji-muji sahabat Nabi
karena pada dasarnya mereka disingkirkan dari telaga, dan diteruskan dengan
penilaian Nabi, “Sungguh celaka mereka.”
Oleh karena itu, seraya memohon pertolongan kepada Allah,
kami perlu menjelaskan secara gamblang hal ini.
Pertama, bahwa sahabat-sahabat yang dimaksud dalam hadis di atas adalah orang-orang
munafik yang ketika hidup di dunia menjadi sahabat Nabi. Di hadapan Nabi,
mereka menampakkan keislaman, tetapi di dalam hati mereka menyembunyikan
kekafiran. Ini sejalan dengan firman Allah, “Apabila orang-orang munafik
datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya -benarkamu
benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar
Rasul-Nya. Dan Allah pun menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar
pendusta.” (Al-Munafiqun (63): 1) Bisa saja seorang mempertanyakan,
bukankah dahulu Nabi telah mengetahui siapa saja yang munafik, sehingga
semestinya di hari kiamat beliau tidak perlu terkejut seperti itu? kami jawab,
memang benar, tetapi beliau hanya mengetahui sebagian mereka, tidak semuanya.
Oleh sebab itu Allah berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan di antara orang-orang
Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik. Dan di antara
penduduk Madinah (juga ada orang-orang munafik). Mereka keterlaluan dalam
kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka, tetapi kami mengetahui
mereka. Nanti mereka akan kami siksa dua kali, kemduian mereka akan dikembalikan
kepada azab yang besar.” (At-taubah (9): 101) Allah menjelaskan, bahwa Nabi
tidak mengetahui semua orang munafik, sehingga beliau mengira mereka termasuk
sahabatnya padahal sebenarnya bukan, karena mereka adalah kaum munafik.
Kedua, yang dimaksud dengan
sahabat-sahabat dalam hadis ini adalah orang-orang yang murtad setelah
Rasulullah wafat. Diketahui, setelah Nabi meninggal dunia, sebagian orang Arab
murtad. Mereka murtad meninggalkan agama Allah sehingga Abu Bakar Ash-Shiddiq
bersama para sahabat memerangi mereka. Pertempuran-pertempuran itu dikenal
dengan sebutan perang Riddah (perang terhadap gelombang kemurtadan). Jadi,
maksud orang-orang yang dinilai celaka oleh Nabi di atas adalah orang-orang
yang murtad dari Islam sepeninggal beliau. Baik tafsiran yang pertama maupun
tafsiran yang kedua di atas, para sahabat Nabi tidak termasuk di dalamnya.
Kenapa? Karena dalam mendefinisikan sahabat Nabi, kita berkata: “Setiap orang
yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman pada
beliau dan mati dalam keadaan tersebut (tetap beriman dan berislam)”. Sehingga,
tafsiran pertama bahwa orang-orang yang disingkirkan dari telaga adalah
orang-orang munafik, itu karena mereka tidak beriman secara lahir dan batin
kepada Nabi, dan dengan demikian mereka tidak masuk dalam kategori sahabat
Nabi. Untuk tafsiran yang kedua bahwa orang-orang itu adalah kaum murtadin, itu
karena mereka mati tidak dalam keadaan Islam, dan dengan begitu mereka juga
tidak masuk dalam kategori sahabat Nabi. Adapun bila definisi yang mereka pakai
terhadap sahabat Nabi adalah setiap orang yang melihat Nabi, maka
konsekuensinya Abu Jahal juga termasuk sahabat Nabi. Demikian pula Abu Lahab,
Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, Walid bin Utbah dan orang-orang musyrik lainnya,
mereka semua termasuk sahabat Nabi. Jelas definisi semacam ini tidak bisa kita
terima selamanya. Yang kita nyatakan sebagai sahabat Nabi adalah Abu Bakar,
Umar, Ustman, Ali, Thalhah, Abu Ubaidah, Saad bin Abu Waqqash, Saad bin Muadz,
Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah
bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Fathimah, Aisyah, Hasan
dan Husein serta masih banyak lagi lainnya. Mereka inilah para sahabat Nabi.
Siapakah di antara mereka yang menjadi munafik? Dan siapakah di antara mereka
yang murtad meninggalkan agama Allah? Tidak ada. bahkan sebaliknya, mereka
semua beriman kepada Rasulullah, bertemu dengan beliau dan mati dalam keadaan
yang tetap sama seperti itu. Inilah yang dapat kita saksikan dari berbagai
fakta sejarah. Adapun tentang keadaan mereka yang sebenarnya, itu hanya Allah
yang tahu. Intinya, jawaban atas syubhat hadis haudh ini adalah: pertama, bahwa
sabda Nabi “Sungguh celaka mereka” ditujukan pada orang-orang yang menampakkan
keislaman dan menyembunyikan kekafiran, sedangkan Nabi tidak mengetahui jati
diri mereka itu di dunia. Atau kedua, mereka adalah orang-orang yang murtad
sepeninggal Rasulullah. Ketika Nabi masih hidup mereka termasuk muslimin,
tetapi setelah Nabi wafat mereka murtad dan meninggalkan Islam. Ada jawaban
ketiga, yakni setiap yang bersahabat (berteman) dengan Nabi tetapi tidak
mengikuti beliau. Contohnya seperti Abdullah bin Ubay bin Salul, yang
sebagaimana diketahui, dia adalah pemimpin kaum munafik. Ia pulalah yang
berkata, “Sungguh jika kami kembali ke Madinah, niscaya orang yang terhormat
akan mengusir orang yang hina.” Dan dia juga yang berkata, “Tiadalah
perumpamaan kita dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya kecuali seperti
perkataan orang-orang dulu, ‘Gemukkan anjingmu, ia pasti memakanmu’!” orang
seperti ini disebut Nabi termasuk sahabat beliau. Jadi, menurut jawaban yang
ketiga, inilah maksud sahabat dalam hadis tadi. Maka di sini tampak bahwa
definisi tentang sahabat yang telah kami sebutkan tadi, yaitu, “Setiap yang
bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman pada beliau dan
mati dalam keadaan tersebut (tetap beriman dan berislam)” merupakan definisi
yang dinyatakan oleh generasi belakangan. Adapun ucapan orang-orang Arab bahwa
“Setiap orang yang menyertai seseorang berarti ia termasuk sahabatnya, tanpa
memandang apakah dia muslim atau tidak, mengikuti jalan hidupnya atau tidak.”
Maka ini konteksnya umum dan bukan dalam persoalan mendefinisikan sahabat Nabi.
Karenanya, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul mengeluarkan perkataan busuknya,
“Niscaya orang yang terhormat akan mengusir orang yang hina”, Umar bin Khathab
berdiri mendatangi Rasulullah lalu berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan saya
memenggal leher orang munafik ini.” Maka Nabi bersabda, “Tidak wahai Umar,
jangan sampai manusia mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya.” (Shahih
Al-Bukhari, no. 4907; Shahih Muslim, no. 63). Nabi memang menyebutnya dengan
kata sahabat, sekalipun ia dedengkot kaum Munafik. Namun, maksudnya tetap dia
tidak termasuk dalam kumpulan orang-orang yang secara istilah khusus dinamai
sebagai sahabat Nabi. Selain itu, bisa jadi maksud sahabat yang dinyatakan
celaka dalam hadis haudh tadi juga adalah orang-orang yang mengikuti agama Nabi
ini walaupun tidak bertemu langsung dengan beliau. Dan kemudian setelah itu,
orang-orang itu mengalami kondisi kemunafikan ataupun kemurtadan. Jika begitu,
maka kita juga termasuk dalam celaan di hadis ini jika kita mengalami
kemunafikan dan kemurtadan. Karena itulah, maka sebagian riwayat hadis tadi
dari jalur lain berbunyi, “Ummati, ummati (mereka itu umatku)” (Shahih
Al-Bukhari, no. 7048) sebagai ganti bagi penyebutan sahabat. Dan kita ini,
termasuk dalam umat beliau. Mungkin ada yang masih belum bisa menerima,
“Bagaimana mungkin maksudnya seperti itu, sementara dalam hadis tadi
tersebutkan kata Nabi, ‘Aku mengetahui mereka dan mereka mengetahuiku’?”
Maka kita jawab, bahwasanya Nabi telah menerangkan bahwa
beliau mengenali umatnya melalui bekas-bekas wudhu. Jika seandainya ada
orang-orang nawashib –orang yang membenci keluarga Nabi yaitu Ali,
Fathimah, Hasan, Husein dan lainnya- mengatakan, “Mereka itulah –maksudnya Ali
dan lain-lain itu- yang murtad. Merekalah yang dihalau dari telaga. Mereka
adalah Ali, Hasan dan Husein.” Bagaimana kita akan memberi jawaban pada mereka?
kita bisa mengutarakan pada mereka, “Sahabat-sahabat yang disebut dalam hadis
ini (dan bahkan dicela Nabi) bukanlah mereka yang kalian maksud itu. justru
nama-nama yang kalian sebut itu, tentang mereka terdapat riwayat-riwayat yang
menyebutkan keutamaan-keutamaan mereka.”
Kembali kepada Syiah, bukankah Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Abu Ubaidah juga ada riwayat-riwayat yang menuturkan keutamaan mereka? lantas
mengapakah Ali –oleh kaum Syiah- tidak dimasukkan dalam kategori sahabat yang
dicela Nabi jika Abu Bakar dan Umar dimasukkan kesana? Jadi, inti
kesimpulannya, hadis haudh tadi tidak berbicara mengenai sahabat-sahabat Nabi.
(lppimakassar.com/voa-islam.com)
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/liberalism/2013/11/15/27605/dusta-setan-jalaludin-rakhmat-ijabi-mengkafirkan-muslim-indonesia/#sthash.AOqqFKxu.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar