Oleh:
Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Perjalanan kaum
Syi'ah di negeri ini semakin jelas. Dimulai ketika terjadi revolusi Iran yang
mengantarkan ajaran atau (tepatnya disebut) dîn (agama) Syi'ah menguasai Iran
sebagai agama penguasa setelah pemerintahan Reza Pahlevi runtuh. Setelah
terjadi revolusi di Iran di penghujung tahun 1979, mereka mulai menyebarkan
ajaran mereka keseluruh negeri Islam dengan mengatas-namakan dakwah Islam.
Terutama ke negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah kaum Muslimin.
Ada tiga faktor yang
menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke Indonesia. Yaitu:
Pertama, kaum Muslimin
terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang
berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.
Kedua, mayoritas kaum
Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafush Shâlih. Mereka hanya
sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan
dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah (generasi terbaik
umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur’ân
dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang
akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh (benar).
Ketiga, kebanyakan kaum
Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak
paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam
dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap
ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab
yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam
Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan
antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah
(perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di
negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi'ah
kecuali sekedar perbedaan furu’iyyah.
Dengan tiga sebab
ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin.
Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan Daulah
Islamiyah.[1]Padahal pada hakekatnya untuk menegakan Daulah Râfidhah.
Mereka hendak
menyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka,
tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran ini (Syi'ah) dan
ditegakkan oleh mereka.
Khomaini, pemimpin
mereka telah menulis beberapa kitab. Tiga diantara kitab-kitab ini menjelaskan
dengan gamblang kepada kita tentang jati diri penulis dan para pengikutnya.
Tiga kitab itu adalah:
- Kitab Hukumâtul Islamiyah
- Kitab Tahrîrul Wasîlah
- Kitab Jihâdun Nafs atau dengan judul Jihâdul Akbar.
Dalam
tiga kitab ini, khususnya dalam kitab Hukumâtul Islamiyah, Khomaini secara
tegas tanpa taqiyyah menyatakan beberapa hal penting sebagai dasar pada agama
mereka. Diantaranya dua hal yang sangat mendasar yaitu:
- Tidak ada hukum kecuali hukum Syi'ah. Jadi yang dimaksudkan dengan Hukumatul Islamiyah adalah hukum Râfidhah.
- Tidak ada negeri islam kecuali yang ditegakkan oleh mereka.
Karena itu mereka
menyeru agar kaum Muslimin mengikuti mereka. Berbagai upaya dilakukan, misalnya
mengirimkan dai-dai ke seluruh negeri-negeri Islam atau dengan istilah
pertukaran pelajar, atau cendekiawan, mempertemukan tokoh-tokoh mereka dengan
tokoh-tokoh kaum Muslimin untuk mempersatukan Islam. Sebuah tanda tanya besar!
Padahal yang diinginkan adalah agar kaum Muslimin mengikuti mereka.
Dalam kitab Hukumâtul
Islamiyah juga, Khomaini dengan tegas mengatakan bahwa derajat imam-imam mereka
lebih tinggi dari derajat para Nabi dan Rasul bahkan para Malaikat. Dalam kitab
itu juga, Khomaini tidak mengenal Daulah Islamiyah kecuali yang ditegakkan oleh
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu,
adapun tiga khalifah sebelum Ali radhiyallâhu'anhu yaitu Abu Bakar
radhiyallâhu'anhu, Umar radhiyallâhu'anhu, dan Utsman radhiyallâhu'anhu tidak
dianggap sebagai kaum Muslimin.
Bahkan dalam kitab
Jihâdul Akbar, Khomaini dengan tegas melaknat sahabat agung, penulis wahyu,
ipar Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam dan pamannya kaum Muslimin yaitu Mu’âwiyah bin Abi
Sufyân radhiyallâhu 'anhu.
Khomaini mengatakan bahwa Mu’âwiyah radhiyallâhu
'anhu terlaknat di dunia dan di akhirat dengan mendapat adzab di
akhirat. Seolah-olah dengan perkataannya ini, dia mengetahui perkara yang
ghaib. Apakah Allâh Ta'âla telah mengikat perjanjian dengan dia? Apakah Allâh
Ta'âla telah memberikan berita ghaib kepadanya? Sehingga dengan tegas dia berani
mengucapkan perkataan ini?
Ini menunjukkan
betapa kuat kebencian dan dendamnya yang membara kepada para pembesar kaum
Muslimin yaitu para Sahabat radhiyallâhu'anhum. Oleh karena itu, ketika
mengetahui perkataan-perkataan Khomaini dalam ketiga kitabnya tersebut,
sebagian tokoh kaum Muslimin berbalik dan menyadari bahwa apa yang disuarakan
“Persatuan dan Kesatuan Umat Islam”, “Tidak ada perbedaan antara mereka kecuali
masalah furu’ saja”, semuanya adalah kebohongan.
AJARAN SYI’AH MASUK INDONESIA
Diawal tahun 1980,
ajaran Syi’ah mulai masuk ke Indonesia, walaupun (sebatas yang saya ketahui)
ketika itu, pemerintah awalnya menolak kedatangan tokoh-tokoh Syi'ah ke
Indonesia untuk memperkenalkan ajaran mereka. Tetapi ada beberapa tokoh di
Indonesia ini yang sangat berjasa bagi kelompok Rafidhah ini, diantaranya ada
dua orang tokoh.
Keduanya berhasil
meyakinkan pemerintah bahwa yang datang ini bukanlah murid-murid Khomaini
tetapi lawan-lawannya serta mereka tidak membawa ajaran Khomaini. Pemerintah
yang memang tidak paham ajaran Syi'ah[2], akhirnya memberikan ijin. Sejak itu,
masuklah ajaran Syi’ah ke negeri kita ini.
Secara pribadi,
ketika itu, saya (penulis) telah mengingatkan kepada sebagian ustadz dan kaum
Muslimin bahwa kalau kita tidak menjelaskan masalah Syi’ah ini kepada ummat,
maka ajarannya akan berkembang dan masuk ke berbagai lapisan masyarakat. Namun,
sangat disesalkan, mereka tidak mengindahkannya dan tetap menganggap perbedaan
antara kita dengan Syi'ah hanya dalam masalah furu’iyyah.
Padahal perbedaan
kita dengan Syi'ah Râfidhah adalah perbedaan ushûl (pokok-pokok agama) dan
furu’ yang keduanya tidak mungkin disatukan kecuali kalau salah satunya
meninggalkan ajaran agamanya.
Di antara perbedaan
ushûl (pokok) yang sangat mendasar sekali yang kalau diyakini oleh seseorang maka
akan menyebabkan seorang itu murtad yaitu :
Pertama; keyakinan mereka
bahwa al-Quran yang ada ditangan kaum muslimin saat ini, yang dibaca, yang
dihafal dan diyakini sebagai kitabullâh yang diwahyukan kepada hambaNya dan
RasulNya Muhammad shallallâhu 'alaihi
wasallam melalui perantara Malaikat jibril 'alaihissalam, telah tidak asli lagi.
Menurut Syi’ah,
al-Qur’ân telah dirubah, atau dikurangi oleh para sahabat yang dipimpin oleh
tiga sahabat mulia yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsmân dan para sahabat lainnya -radhiyallâhu'anhum-. Keyakinan ini
bisa menghancurkan seluruh isi al-Qur’ân, karena Allâh Ta'âla telah berfirman :
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”
(Qs al Hijr/15:9)
Sedangkan ajaran Râfidhah
yang terus-menerus mereka katakan sampai saat ini, baik dengan lisan maupun
tulisan bahwa al-Qur’ân yang asli adalah al-Qur’ân yang tiga kali lebih besar
dan sangat berbeda dibandingkan al-Qur’ân yang ada ditangan kaum muslimin
saat ini. Menurut mereka Al-Qur’an yang asli ini nanti akan dibawa oleh Imam
Mahdi dan dinamakan Mushaf Fathimah.
Ini keyakinan mereka,
walaupun sebagian mereka mengingkarinya tetapi pengingkaran itu hanya omong
kosong karena ini merupakan taqiyah mereka. Kalau keyakinan ini diyakini oleh
kaum muslimin maka tidak diragukan lagi bahwa dia telah murtad, keluar dari
agama Islam.
Kedua; Pengkafiran mutlak
terhadap seluruh sahabat, seperti Abu Bakar as Shiddîq radhiyallâhu'anhu, Umar al-Fârûq radhiyallâhu'anhu, Utsmân Dzunnûrain radhiyallâhu'anhu dan seluruh
sahabat Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam kecuali beberapa sahabat yang jumlahnya sangat
sedikit.
Meyakini ini berarti
membantah isi al-Qur’ân yang menyatakan keimanan dan kebesaran para sahabat
serta keridhaan Allâh Ta'âla terhadap mereka. Kalau seorang muslim dan muslimah
meyakini keyakinan ini (pengkafiran mutlak terhadap seluruh sahabat, kecuali
beberapa sahabat) berarti mereka telah murtad, keluar dari Islam.
Kedua keyakinan
Râfidhah ini tidak mungkin disatukan dengan keyakinan yang ada dalam Islam.
Artinya, tidak mungkin seorang muslim dan seorang Râfidhi (Penganut agama
Syi’ah) bersatu, karena keyakinannya sangat berbeda. Ini berdasarkan dalil
naqliyah dan aqliyah yang shahih yang memiliki ketegasan.
Oleh karena itu para
ulama zaman dahulu menyatakan bahwa orang yang paling bodoh terhadap dalil
dalil naqliyah dan aqliyah serta paling sesat jalannya diantara orang-orang
mengaku Islam adalah Syi’ah atau Rafidhah ini. Karena dengan tegas, mereka
membenarkan apa yang didustakan dengan dalil-dalil naqliyah sam’iyah
(dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunnah) dan juga yang didustakan oleh akal.
Sebaliknya, mereka
mendustakan apa yang jelas dan terang telah datang dari dalil-dalil naqliyah
sam’iyah dan berdasarkan akal yang shahih. (Minhâjus Sunnah, 1/8)
Ketiga, perbedaan ushûl
lainnya adalah penyembahan terhadap manusia. Diantara orang-orang yang
menisbatkan diri kepada Islam, yang pertama kali membangun kubur-kubur dan
kubah-kubah adalah kaum Râfidhah. Mereka mengadakan peribadatan kepada selain
Allâh Ta'âla. Padahal ini sangat diharamkan dalam Islam dan merupakan syirik
besar.
Mewakili pengikutnya,
Khomaini dalam bukunya "Hukûmâtul Islâmiyah", halaman 52 mengatakan:
“Sesungguhnya sesuatu
yang pasti dari madzhab kami bahwa imam-imam kami memiliki kedudukan yang tidak
bisa dicapai oleh seorangpun, baik seorang rasul yang diutus maupun oleh
malaikat yang dekat.”
Ini pernyataan tegas
Khomaini. Ini menunjukkan sikap ghuluw mereka terhadap para imam mereka, yang
mereka klaim memiliki derajat yang lebih tinggi dari para nabi dan rasul.
Dalam kitab yang
sama, Khomaini menyatakan bahwa imam mereka tidak pernah lupa dan lalai.
Padahal ini adalah sifat Allâh Ta'âla, karena hanya Allâh Ta'âla yang tidak
pernah lupa dan lalai.
Allâh Ta'âla
berfirman : “Dan Rabbmu tidaklah lupa”. (Qs
Maryam/19:64)
Ini merupakan salah
satu bentuk penyembahan terhadap makhluk. Sikap ini tidak mungkin bisa
disatukan dengan seorang muslim yang beraqidah shahih, yang bermanhaj dengan
manhaj salaful ummah, yang hanya ruku’ dan sujud kepada Allâh Ta'âla, yang
meminta pertolongan hanya kepada Allâh Ta'âla.
Oleh karena itu
mereka membangun kuburan dan merekalah yang pertama kali memasukkan penyembahan
terhadap kubur ke dalam Islam, membangunnya serta mendirikan kubah-kubah.
Itulah beberapa ushûl (masalah pokok) diantara banyak ushûl lainnya yang
membedakan Râfidhah (Syi'ah) dengan Islam sehingga tidak mungkin disatukan
kecuali salah satunya meninggalkan agamanya.
Masalah ini sering
tidak diketahui oleh tokoh-tokoh kaum muslimin khususnya di negeri kita ini.
Karena Syi'ah selalu menyembunyikan keyakinan-keyakinan mereka kepada
orang-orang yang belum menjadi pengikut setia mereka.
PERKEMBANGAN SYI’AH DI INDONESIA
Kurang lebih 30 tahun
sudah berlalu sejak mulai menancapkan kukunya di Indonesia, kini kaum Râfidhah
terutama di negeri kita ini telah berani memperlihatkan sebagian ajaran mereka
secara terang-terangan. Ini mereka lakukan secara bertahap. Cara-cara mereka
dalam memberikan pengajaran sangat halus dan awalnya tidak diketahui. Saya
sebutkan diantaranya :
Pertama, mereka
mengatasnamakan diri ahlul bait (keluarga) Nabi. Padahal pada hakekatnya,
mereka telah berbohong atas nama ahlul bait[3]. Kita tahu bahwa kaum muslimin,
terutama di Indonesia sangat mencintai ahlul bait tetapi kecintaan yang tidak
berdasarkan ilmu tentang siapa ahlul bait ? Apa manhaj mereka ?
Kecintaan seperti ini
bisa menyeret seseorang kepada kultus dan al-ghuluw (berlebih-lebihan). Hal
inilah yang diinginkan Syi'ah. Oleh karena itu, orang yang menyerang Syi'ah
selalu dituduh benci kepada ahlul bait. Dan para pendahulu-pendahulu mereka
seperti kaum Qarâmithah, Isma’iliyah, Bathiniyah telah membuat beberapa ajaran
yang disusupkan ke tengah-tengah kaum muslimin untuk mendukung madzhab mereka. Diantaranya
adalah perayaaan maulid Nabi. Merekalah yang membuat acara ini pertama kali,
bukan Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi. Menisbatkan perayaan maulid kepada
Shalahuddin adalah penyimpangan, penipuan dalam sejarah.[4]
Cinta ahlul bait
adalah merupakan keyakinan Islam. Kita mencintai keluarga Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam sesuai
dengan syariat Allâh dan Rasulnya, tidak ditambah dan tidak dikurangi, tidak
mengadakan penyembahan terhadap ahlul bait. Kita meyakini bahwa tidak ada yang
ma’shûm (bebas dari dosa dan kesalahan) kecuali Nabi yang mulia. Jadi kecintaan
kita tetap dalam batasan-batasan Islam bukan sebagaimana yang dikatakan oleh
Syi’ah.
Kedua, dalam memberikan
pengajaran, mereka menggunakan ayat-ayat al-Qur’ân, tafsir-tafsir al-Qur’ân
tidak melalui hadits atau sunnah. Karena mereka jauh sekali dari sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam bahkan
mereka menolak hadits. Bagaimana mungkin mereka bisa menerima hadits Bukhâri,
Muslim dan lain-lain sementara para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits ini
dianggap kafir ?! Mereka juga menvonis kufur kepada ahlus sunnah termasuk
Bukhâri, Muslim dan ulama ahli hadits lainnya. Oleh karena itu, mereka selalu
memulainya dengan tafsir dengan meruju’ ke kitab-kitab tafsir Syi'ah[5].
Melalui kajian
tafsir-tafsir al-Qur’ân yang awalnya biasa tapi lama-kelamaan menjadi aneh,
karena seluruh ayat al-Qur’ân mereka tafsirkan dengan penafsiran mereka. Mereka
selalu membuka kajian tafsir al-Qur’ân, tidak ada yang membuka kajian shahih
Bukhâri kecuali untuk di hina, di kritik dan selanjutnya di tolak. Mereka mulai
menafsirkan, ini untuk Ali radhiyallâhu'anhu dan
siksaan ini untuk Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dan
lain sebagainya. Walaupun pada awalnya, mereka belum menyebut nama Abu Bakar,
Umar dan Utsman radhiyallâhu'anhum karena
ketiga shahabat ini memiliki kedudukan tinggi di hati kaum muslimin termasuk
Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu.
Syi’ah menempuh
cara-cara kaum zindiq yaitu meninggikan sebagian dan merendahkan sebagian dalam
waktu yang bersamaan agar mereka dapat menghancurkan secara keseluruhan. Mereka
meninggikan Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu setinggi-tingginya
sampai disamakan dengan Rabbul a’lamin sementara mereka merendahkan Abu Bakar,
Umar, Utsman radhiyallâhu'anhum dan
hampir seluruh para sahabat Rasûlullâh dengan
serendah-rendahnya.
Ketiga, mengkritik sebagian
sahabat. Mereka mulai dari Abu Hurairah radhiyallâhu 'anhu kemudian yang lainnya sampai hampir
seluruh para sahabat. Untuk mencapai tujuan ini, di negeri kita mereka
memerlukan waktu bertahun-tahun. Sehingga saat ini, Abu Bakar As-Shiddiq, Umar
al-Fârûq, Utsmân Dzunûrain, mereka hinakan dan kafirkan secara terang-terangan.
Bahkan tersebar selebaran yang mengkafirkan sayyidah Aisyah radhiyallâhu 'anha dan para
sahabat lainnya.
Mereka memasukan
berbagai macam syubhat kepada kaum muslimin lalu mulai mengklasifikasikan para
sahabat menjadi yang betul-betul sahabat Nabi dan yang munafiq. Selanjutnya
dibawakan sebagian ayat-ayat al-Qur’ân sehingga sebagian kaum muslimin yang
mengikuti majelis mereka terpengaruh dan tidak memperdulikan serta tidak lagi
memakai ijmâ’ para ulama mengenai para shahabat, yaitu semua para sahabat
adalah adil.
Keempat, mengkritik
hadits-hadits. Awalnya, mereka mengkritik satu atau dua buah hadits dalam
Shahîh Bukhâri yang dinyatakan tidak sah, mustahil atau dusta. Semua
justifikasi ini berdasarkan akal dan ra’yu mereka yang jahil. Dan itulah salah
satu sifat mereka, mengkritik, membantah, dan menolak tanpa hujjah.
Oleh karena itu ahlus
sunnah menyatakan bahwa bantahan dan penolakan semata bukanlah ilmu. Ilmu
adalah memberikan jawaban secara ilmiyah, membantah secara ilmiyah dengan
menegakkan hujjah yang selanjutnya menyelesaikan permasalahan. Ini yang disebut
ilmu. Adapun semata-mata menolak, mungkin anak-anak yang telah tamyiz mampu
melakukannya.
Inipun mereka lakukan
secara bertahap serta membutuhkan waktu yang cukup lama. Mereka mengkritik dan
menolak hadits-hadits riwayat Bukhâri dan Muslim. Tapi anehnya, apabila ada
hadits yang menguatkan madzhab mereka, mereka memakainya padahal mereka telah
mengkafirkan Imam Bukhâri dan Muslim !?
Kelima, memberikan kesan
bahwa bahwa Syi’ah merupakan madzhab yang kelima dalam Islam dan perbedaan
mereka adalah perbedaan furu’iyah, ijtihadiyah, ilmiyah secara global tanpa
ta’shîl (penegakan terhadap hujjah) dan tafshîl (terperinci) sehingga ini juga
mempengaruhi kaum Muslimin.
Keenam, mendakwahkan ajaran
yang sangat menarik bagi orang-orang memiliki penyakit hati yaitu nikah mut’ah.
Nikah mut’ah (kontrak) tanpa wali tanpa saksi kecuali dengan mahar pemberian
dan ada ikatan perjanjian antara kedua pihak laki dan wanita. Biasanya
dilakukan selepas majelis mereka. Mereka mengikat perjanjian kontrak satu hari,
dua hari dan seterusnya dan boleh untuk satu kali berhubungan saja (tidak ada
bedanya dengan zina). Bahkan Khomaini di sebagian fatwanya membolehkan
bermut’ah dengan pelacur !!!
Ketujuh, berusaha menjauhkan
kaum Muslimin dan memberikan kesan buruk terhadap sebuah ajaran yang mereka
benci yaitu Wahabi. Kalimat ini sering diulang-ulang, tanpa ada penjelasan
terperinci, siapa dan apa ajaran Wahabi itu. Sehingga setiap ajaran dakwah atau
yang berlawanan dengan Syi'ah dijauhi oleh kaum Muslimin.
Padahal sebenarnya,
lafadz ini (Wahabi) disematkan oleh musuh-musuh Islam kepada ajaran dakwah
al-Imam Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullâh. Lalu mereka
memanfaatkannya untuk menjauhkan kaum Muslimin dari dakwah yang haq ini.
KEPADA SIAPA MEREKA MASUK ?
Sepanjang penelitian
saya selama kurang lebih tiga puluh tahun tentang mereka secara berjauhan
maupun berdekatan, saya melihat bahwa mereka memasuki semua lapisan masyarakat
dengan cara-cara yang berbeda. Berikut perinciannya :
Tingkatan
Pertama; Mereka
mempegaruhi masyarakat awam dengan cara-cara yang dapat diterima oleh
orang-orang awam. Dikalangan orang-orang awam ini, mereka tidak akan mampu
mengkafirkan seluruh para sahabat karena orang-orang awam walaupun mereka
beragama dengan cara taqlid buta, mereka sangat mencintai para sahabat. Kalau
mereka langsung mengkafirkan atau mengkritik Abu Bakar radhiyallâhu'anhu, Umar radhiyallâhu'anhu, Utsmân radhiyallâhu'anhu dan para
sahabat yang lainnya –radhiyallâhu'anhum–
ditengah masyarakat awam, tentu mereka akan ditinggalkan.
Mereka mendekati
masyarakat awam dengan cara mengkultuskan manusia atas nama ahlul bait. Bahkan
mereka membuat berbagai bait-bait syair yang mengantarkan kepada pengkultusan
terhadap Nabi. Mereka meninggikan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam lebih tinggi dari yang telah
tetapkan oleh Allâh Ta'âla, dengan cara tawassul ataupun istighatsah, yang berujung pada syirik besar.
Dimulai dari
pendekatan dengan mengatasnamakan ahlul bait kemudian berlanjut dengan pemujaan
terhadap manusia, yaitu dengan membangun kubur-kubur dan meminta kepada
penghuni kubur serta penyebaran berbagai macam bid’ah lainnya.
Tingkatan
kedua; Mendakwahi
para pelajar khususnya mahasiswa. Untuk lapisan ini, mereka masuk lewat
penyebaran nikah mut’ah karena para pemuda ini memang sangat aktif mencari
hal-hal baru untuk kemudian dicoba. Setelah memberikan kenikmatan syaithaniyah,
mereka mulai mendekati para pemuda ini dengan memberikan image (gambaran) bahwa
ajaran Syi’ah itu benar dan lain sebagainya.
Oleh karena itu
tokoh-tokoh mereka mengajar diberbagai perguruan tinggi untuk menjerat para
mahasiswa yang mayoritasnya kosong dari ajaran Islam, aqidah shahihah serta
tidak gemar duduk di majelis-majelis ilmu. Para mahasiswa ini terus didekati
sampai akhirnya menjadi Rafidhah tulen dan diharapkan menjadi kaum intelektual
yang memegang pemerintahan di negeri ini.
Ini harapan mereka,
Semoga Allâh Ta'âla menghancurkan rencana buruk mereka.
Tingkatan
Ketiga; Memasuki
media masa, yang cetak maupun elektronik. Melalui media-media ini, mereka
menampilkan tentang Rafidhah sedikit demi sedikit, dengan dalih sebagai
khazanah islamiyah. Stasiun televisi tidak luput dari mereka.
Namun tentunya,
mereka tidak terang-terangan membawakan ajaran mereka. Kecuali salah satu dari
tokoh mereka yang pernah saya dengar langsung dengan telinga saya dan saya
lihat dengan kedua mata saya bahwa dia mengatakan bahwa Abdullah bin Umar radhiyallâhu'anhu adalah seorang
penakut (Allahu Akbar).
Orang yang hina ini
telah merendahkan seorang sahabat mulia, alim lagi ‘âbid yang dikatakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam :
"Sebaik-baik
orang adalah Abdullah Bin Umar kalau sekiranya dia shalat malam." (HR Bukhari, no.
3738, 3739, 3740 dan 3741)
Sejak itu, Abdullah
bin Umar tidak pernah meninggalkan shalat malam.
Tingkatan
keempat; Mereka
memberikan pengajaran kepada kaum intelektual khususnya kepada pendukung mereka
yang saya istilahkan alumni dari orientalis. Mereka ini dididik, dijadikan anak
angkat dan disusui oleh orang-orang Yahudi di negeri-negeri Barat yang notabene
sangat membenci Islam. Mereka mendapat dukungan kuat sehingga paling tidak kaum
intelektual ini bersikap netral atau toleran, tidak mempermasalahkan antara
Sunni dengan Syi'ah.
Ini langkah pertama,
langkah kedua dan selanjutnya, mereka mulai membuat program-program yang bisa
menjebak tokoh-tokoh ini kedalam Râfidhah tulen.
Tingkatan
kelima; Mendekati
para pejabat negeri yang memegang tampuk pemerintahan untuk diberikan
pelajaran-pelajaran tentang Syi’ah. Paling tidak, mereka merasa untung dan
menang kalau pejabat ini mengetahui ajaran Râfidhah, apalagi mendukungnya.
Tingkatan
keenam; Masuk
ke partai politik dengan menjadi tim-tim sukses partai-partai politik.
Tingkatan
ketujuh; Membuat
pengajian-pengajian untuk ibu-ibu karena peran wanita sangat penting sekali dan
sangat besar sekali. Oleh karena itu mereka membutuhkan ibu-ibu untuk mendukung
ajaran mereka. Berdasarkan kenyataan ini, saya sering mengingatkan bapak-bapak
agar hati-hati dan memperhatikan pengajian istrinya, jangan sampai istri-istri
mereka terjebak dalam ajaran Syi’ah.
Barang kali ini yang
bisa kita bahas sekilas tentang perkembangan dan gerakan Syi’ah di Indonesia.
Mereka membuat tipu daya, semoga Allah menghancurkan tipu daya mereka.
Dan, alhamdulillah saat ini perkembangan dakwah sunnah sangat mengkhawatirkan
mereka.
[1] Ini merupakan taqiyah mereka karena
taqiyah adalah bagian dari agama mereka. Mereka mengatakan bahwa “Taqiyah
(bohong) adalah agama kami.” Para pembaca dapat meruju’ ke muqodimah yang
sangat berharga oleh al-imam as-salafi Muhibbudien al-Khatib dalam muqodimahnya
terhadap kitab Adz Dzahabi yang meringkas kitab gurunya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah “Minhâjus Sunnah” dengan judul al-Muntaqa’
[2]
Jangankan pemerintah bahkan sebagian besar tokoh agama pun tidak paham
[3]Untuk lebih mengetahui masalah ini, para pembaca bisa
meruju’ ke kitab Prof. Ihsan Ilahi Dzhahir yang berjudul “Syiah dan Ahlul
Bait”. Sebuah kitab yang sangat menarik karya seorang alim yang mengetahui
tentang ajaran Syi’ah[4]Para pembaca yang terhormat dapat merujuk kepada buku
ustadz Ibnu Saini yang telah menulis dan menyingkap masalah sebenarnya tentang
hal ini[5]Dan faktanya, kaum Muslimin memang sangat awam sekali terhadap
kitab-kitab tafsir. Oleh karena, seyogyalah kaum Muslimin, para tokohnya,
asatidzah, dan pelajar meninggikan kitab-kitab tafsir ahlu sunnah yang berjalan
diatas manhaj salafus shalih seperti tafsir al-Imam ath-Thabari, tafsir
al-Haafidz Ibnu Katsir atau kitab tafsir sebelumnya yaitu tafsir Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah.
(Majalah
As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar